Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radhiyallahu’anhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang)
Tulisan ini akan saya mulai dengan kisah dua orang teman saya. Sebut saja yang satu si Fulan dan satunya lagi Fulanah (karena memang kedua orang ini berlawanan jenis kelamin). Alkisah, dalam satu periode yang cukup singkat, jatuh cintalah si Fulan pada Fulanah yang aktivis dan shalihah ini. Memang begitu adanya. Fulanah adalah aktivis semasa sekolahnya dulu, seorang yang tidak hanya memegang satu amanah, tapi dua tiga atau lebih amanah dalam satu periode. Yang membuatnya tambah memikat adalah wajahnya yang terkenal cantik dan pribadinya yang supel serta rendah hati. Mudah sekali untuk bisa dekat dengan Fulanah. Fulanah juga memiliki hafalan Quran yang tidak sedikit hingga gelar ‘penghafal terbaik’ disabetnya saat wisuda sekolahnya.
Begitulah, pada akhirnya si Fulan jatuh hati. Terpikat pada setiap pesona Fulanah yang tidak biasa, yang sudah sangat langka ditemui di tengah-tengah populasi manusia, terutama wanita, yang semakin terdegradasi moralnya. Tapi, apa daya, keduanya baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas ketika si Fulan menyadari perasaannya. Ia tahu, tidak ada kata pacaran dalam kamus si Fulanah, pun itu juga prinsip yang diajarkan keluarga dan sekolahnya padanya. Maka, yang tersisa hanya kata menikah. Cinta itu cukup adanya tersimpan dalam hati dan dirinya. Ia bahkan mau –dan mungkin mampu berbuat apapun untuk si Fulanah. Tapi ia juga tahu tidak akan ada yang merestui dari kedua pihak keluarga untuk pernikahan yang terlalu terburu-buru, terlebih lagi Fulan bukanlah anak pertama, ia masih memiliki kakak yang juga belum menikah. Maka, atas asas cinta yang tak pernah terucap, ia mempersiapkan diri untuk menjemput Fulanah suatu ketika nanti. Untuk mengejar apa-apa yang pernah diraih oleh Fulanah, si Fulan berusaha pula mendapatkannya. Mulai dari berorganisasi, yang kini ia lebih aktif. Nyantri sebagai santri kalong di salah satu pondok tahfidz di sekitar kampusnya demi menyamai hafalan yang dimiliki oleh Fulanah. Ia mau –dan mungkin mampu berbuat apapun untuk mensejajari langkah Fulanah.
Dua semester kuliah hampir terlewati dengan kondisi Fulan yang prima, merasa berada di puncak semangatnya, hingga kabar itu datang. Kabar yang disampaikan langsung oleh Fulanah ketika keduanya berkesempatan untuk bertemu. Ada seorang lelaki mapan datang melamarnya, memintanya untuk mendampinginya hingga akhir hayatnya. Dan besar kemungkinan Fulanah akan menerima lamaran tersebut. Maka, terhitung sejak hari itu hingga berhari-hari ke depannya, semangat si Fulan untuk mengaji Quran perlahan-lahan luntur. Organisasi pun satu per satu ia tinggalkan. Ia menghilang dari peredaran kampus. Warnet menjadi markas besarnya, satu-satunya tempat yang menurutnya mampu membantunya melupakan realita, bahwa orang yang dicintainya sebentar lagi akan menjadi istri orang.
Itu kisah seorang teman saya. Terkait kisah ini saya pernah bertanya pada seorang teman –yang lebih tua dan lebih dewasa daripada saya, waktu itu saya bertanya, ‘Dari cerita teman saya itu, Kak, sebenarnya siapa yang salah?’ Beliau terdiam sebentar, lalu menjawab, ‘Tidak ada yang salah. Tapi tidak ada yang benar juga. Ibaratnya begini, kalau ada orang yang menaruh gelas di meja, lalu ada yang menyenggol dan jatuh, siapa yang salah menurutmu?’ Kami terdiam, tidak ada yang menyahut hingga teman saya itu berkata lagi, ‘Tidak ada yang bisa disalahkan, karena yang menaruh gelas salah mengapa tidak ditaruh lebih ke tengah, yang menyenggol juga salah mengapa tidak berhati-hati. Sama dengan orang yang jatuh cinta. Maka, jatuh cinta itu sebaiknya jika sudah menikah saja, jadi usaha apapun yang kita lakukan untuk pasangan kita, memang itu yang diridhai oleh Allah’.
Kembali ke teman saya si Fulan tadi, kalau merujuk kata-kata mentor saya suatu ketika dalam halaqoh pekanan beliau berkata, ‘seharusnya jika semua sudah ditujukan pada Allah, tidak ada kata kecewa’. Dan begitu juga seharusnya si Fulan, juga kita, yang mungkin saja masih menujukan apa-apa yang kita lakukan bukan untuk-Nya, bukan untuk Sang Khaliq. Saya tidak dapat mengatakan Fulan salah karena ia berniat berubah untuk mensejajari Fulanah, karena isi hati orang siapa yang tau. Yang kami, teman-temannya sayangkan adalah mengapa ia berhenti dari berubah menjadi lebih baik saat tahu orang yang dicintainya tak mampu ia nikahi. Apakah itu berarti semua usahanya hanya untuk Fulanah saja?
Mungkin memang begitu adanya orang yang hatinya telah jatuh pada kecintaan duniawi, cinta pada wanita yang belum ada kehalalan baginya, mengusahakan apa-apa yang ditujukan pada wanita, tapi lupa bahwa adanya wanita tersebut adalah karena Allah menghendakinya, kesempurnaan wanita tersebut adalah karena kesempurnaan penciptanya.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang lebih baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)
Mungkin memang begitu adanya, sebagaimana yang telah Allah firmankan, bahwa apa-apa yang diinginkan oleh anak Adam akan selalu terlihat indah di matanya. Ia jatuh bangun mengusahakan apa yang diinginkannya, memperjuangkannya, terkadang bahkan dengan menggunakan cara-cara yang tidak diridhai Allah, dan mungkin juga niat yang tak tertuju pada Allah. Padahal Allah lah yang menciptakan apa-apa yang diinginkan oleh anak Adam.
“…Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”
Mungkin memang begitu adanya, jika menukil sabda Rasulullah saw., yang mengatakan bahwa amalan itu sesuai dengan apa yang ia niatkan. Andaikata Fulan berhijrah –dari dirinya yang dulu menjadi dirinya yang lebih baik hari itu–ia tujukan segalanya untuk Sang Khaliq, Sang Maha Memiliki Cinta, maka mungkin, Allah akan mengganti apa yang ia cintai –namun tidak bisa ia dapatkan–dengan sesuatu yang menurut Allah lebih baik untuknya. Karena jika semua sudah ditujukan untuk Allah, seharusnya tidak ada kata kecewa, sekalipun yang sangat diinginkannya tidak mampu ia dapat.
Mungkin memang begitu adanya, bahwa anak Adam seringkali angkuh terhadap Tuhannya. Merasa dirinya mampu mendahului takdir-Nya, padahal takdir dan rencana Allah selalu indah, hingga ia lupa bahwa setiap apa yang ia lakukan ada campur tangan Sang Pembuat Takdir. Merasa dirinya mampu mencurangi takdir hingga membuat istilah yang diwajar-wajarkan padahal tak pernah Rasulullah mencontohkannya, menolak untuk membangun rumah tangga, menolak untuk menyempurnakan separuh diin-nya dan memilih untuk bermain-main dengan api, itu mungkin yang disebut dengan ‘pacaran’?
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Mungkin memang begitu adanya, bahwa kita seringkali lupa, hidup ini bukan untuk apa-apa selain untuk beribadah kepada-Nya. Sudah jelas ayatnya, sudah jelas dijabarkan alasannya Allah menciptakan insan yang tak memiliki ilmu–kecuali karena diberi pengetahuan oleh-Nya–ini. Kita lalai akan alasan penciptaan kita, dan justru mengejar apa-apa yang diciptakan, bukan Sang Pencipta. Mengejar makhluk, bukan Sang Khaliq. Padahal, jika Sang Khaliq mampu kita gapai, apalagi yang kita butuhkan selain Dia? Sementara jika makhluk kita gapai, apakah ia mampu menjamin kedekatan kita dengan Sang Khaliq?
Maka, berhijrahlah, berubahlah karena-Nya, bukan karenanya …