Senin, 17 Agustus 2015

Indahnya Halaqoh..





Indahnya Halaqoh
dari sebuah lingkaran pribadi bisa membentuk karakter luar biasa. saling mendukung dalam kebaikan dan saling menasihati mencegah kegagalan

indahnya halaqoh...
merajut cinta dalam naungan iman menjadi sebuah kekuatan amal kebaikan. obat dari kegalauan kesedihan dan lemahnya iman.

indahnya halaqoh...
bersatu dalam barisan pemburu surga dari segala strata. mahasiswa, pekerja, orang tua, dan semua jenjang usia bersatu dalam barisan pejuang agama. Pemburu Surga

Indahnya halaqoh...
saling memotivasi mengamalkan bait demi bait alqur'an dan sunnah. memperbaiki yang salah tanpa menghujat yang salah. menjauhi ghibah tak berkecimpung dalam fitnah.

Indahnya halaqoh...
menghormati perbedaan madzhab fiqh. tidak taqlid dalam sebuah pemikiran. karena muslim satu dengan muslim lain ibarat satu tubuh.

indahnya halaqoh..
persaudaraan tanpa batas wilayah. jauh atau dekat tetap terajut dalam ikatan ukhuwah. bersama melangkah meraih ridho allah. hingga berkumpul di jannahNya.

Indahnya halaqoh...
mengajarkan berfikir peradaban. menjauhi ke egoan. karena sebaik baik muslim ialah yang bermanfaat untuk kemaslahatan. hebat, kuat, dan smart buat lingkungan. membuktikan islam rahmat lil a'lamin

Indahnya halaqoh...
menjadikan dakwah sebagai agenda utama. apapun profesinya dakwahlah tujuannya. tiadak ada hari tanpa agenda dakwah

sobat Fillah.... berbahagialah menjadi satu diantara pejuang sejati yang istiqomah dalam lingkaran dakwah. berbanggalah menjadi arsitek arsitek pradaban madani. kemenangan dakwah adalah sebuah keniscayaan maka jadilah selalu play maker dalam menjemput kemenangan itu.
sobat fillah... ingatlah pula, kita bukan lah malaikat yang tak pernah melanggar perintah allah. kita bukan lah anbiya yang ma'shum dari dosa. kita hanyalah manusia yang berusaha mengikuti rosulullah. jangan jadikan kesalahan seseorang menjadikan diri keluar dari lingkaran halaqoh karena masih sangat begitu banyak kebaikan dalam lingkaran halaqoh yang indah ini. berbahagialah wahai ayyuhal ikhwah kelak kita berkumpul di jannahNya. :)

HU

Kamis, 06 Agustus 2015

Dalam Dekapan Ukhuwah


Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh.

"Di mana keadilan Alloh?”, ujarnya.
"Telah lama aku memohon dan meminta pada-Nya satu hal saja.
Kuiringi semua itu dengan segala ketaatan pada-Nya.
Kujauhi segala larangannya.
Kutegakkan yang wajib.
Kutekuni yang sunnah.
Kutebarkan shodaqoh.
Aku berdiri di waktu malam.
Aku bersujud di kala dhuha.
Aku baca kalam-Nya.
Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikut jejak Rosul-Nya.
Tapi hingga kini Alloh belum mewujudkan harapanku itu.
Sama sekali.”

Saya menatapnya iba. Lalu tertunduk sedih.

“Padahal,” lanjutnya sambil kini berkaca-kaca, “Ada teman yang aku tahu ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa dia menginginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya telah tersaji. Semua yang dia minta didapatkannya. Di mana keadilan Alloh?”

Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya.
Saya bisa saja mengatakan, “Kamu sombong. Kamu bangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap hina orang lain. Kamu tertipu oleh kebaikanmu sebagaimana Iblis telah terlena! Jangan heran kalau do’amu tidak diijabah. Kesombonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai beterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannya di sisi Alloh karena dia merahasiakan amal sholihnya!”
Saya bisa mengucapkan itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya.

Tapi saya sadar.
Ini ujian dalam dekapan ukhuwah.
Maka saya memilih sudut pandang lain yang saya harap lebih bermakna baginya daripada sekedar terinsyafkan tapi sekaligus terluka.
Saya khawatir, luka akan bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya.
Maka saya katakan padanya, “Pernahkah engkau didatangi pengamen?”

“Maksudmu?”

“Ya, pengamen,” lanjut saya seiring senyum. “Pernah?”

“Iya. Pernah.” Wajahnya serius. Matanya menatap saya lekat-lekat.

“Bayangkan jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik, dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan yang memekakkan telinga. Suaranya kacau, balau, sengau, parau, sumbang, dan cemprang. Lagunya malah menyakitkan ulu hati, sama sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakukan?”

“Segera kuberi uang,” jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”

“Lalu bagaimana jika pengamen itu bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi, apa yang kau lakukan?”

“Ku dengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata, mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu. “Lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”

Saya tertawa.

Dia tertawa.

“Kau mengerti kan?” tanya saya.
“Bisa saja Alloh juga berlaku begitu pada kita, para hamba-Nya. Jika ada manusia yang fasik, keji, munkar, banyak dosa, dan dibenci-Nya berdo’a memohon pada-Nya, mungkin akan Dia firmankan pada malaikat: “Cepat berikan apa yang dia minta. Aku muak dengan mendengar ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya!”

“Tapi,” saya melanjutkan sambil memastikan dia mencerna setiap kata, “Bila yang menadahkan tangan adalah hamba yang dicintai-Nya, yang giat beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan menegakkan sunnah; maka mungkin saja Alloh akan berfirman pada malaikat-Nya: ‘Tunggu! Tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sungguh Aku bahagia bila diminta. Dan biarlah hamba-Ku ini terus meminta, terus berdo’a, terus menghiba. Aku menyukai do’a-do’anya. Aku menyukai kata-kata dan tangis isaknya. Aku menyukai khusyu’ dan tunduknya. Aku menyukai puja dan puji yang dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dari-Ku setelah mendapat apa yang dia pinta. Aku mencintainya.”

“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikiankah yang terjadi padaku?”

“Hm… Pastinya, aku tidak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”

Dan dia tersenyum. Alhamdulillah.

***
Dikutip dari Buku 'Dalam Dekapan Ukhuwah' karya Salim A. Fillah.

Berubahlah karena-NYA, bukan karenanya..

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radhiyallahu’anhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya setiap  perbuatan tergantung niatnya.  Dan  sesungguhnya  setiap  orang  (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang)

Tulisan ini akan saya mulai dengan kisah dua orang teman saya. Sebut saja yang satu si Fulan dan satunya lagi Fulanah (karena memang kedua orang ini berlawanan jenis kelamin). Alkisah, dalam satu periode yang cukup singkat, jatuh cintalah si Fulan pada Fulanah yang aktivis dan shalihah ini. Memang begitu adanya. Fulanah adalah aktivis semasa sekolahnya dulu, seorang yang tidak hanya memegang satu amanah, tapi dua tiga atau lebih amanah dalam satu periode. Yang membuatnya tambah memikat adalah wajahnya yang terkenal cantik dan pribadinya yang supel serta rendah hati. Mudah sekali untuk bisa dekat dengan Fulanah. Fulanah juga memiliki hafalan Quran yang tidak sedikit hingga gelar ‘penghafal terbaik’ disabetnya saat wisuda sekolahnya.

Begitulah, pada akhirnya si Fulan jatuh hati. Terpikat pada setiap pesona Fulanah yang tidak biasa, yang sudah sangat langka ditemui di tengah-tengah populasi manusia, terutama wanita, yang semakin terdegradasi moralnya. Tapi, apa daya, keduanya baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas ketika si Fulan menyadari perasaannya. Ia tahu, tidak ada kata pacaran dalam kamus si Fulanah, pun itu juga prinsip yang diajarkan keluarga dan sekolahnya padanya. Maka, yang tersisa hanya kata menikah. Cinta itu cukup adanya tersimpan dalam hati dan dirinya. Ia bahkan mau –dan mungkin mampu berbuat apapun untuk si Fulanah. Tapi ia juga tahu tidak akan ada yang merestui dari kedua pihak keluarga untuk pernikahan yang terlalu terburu-buru, terlebih lagi Fulan bukanlah anak pertama, ia masih memiliki kakak yang juga belum menikah. Maka, atas asas cinta yang tak pernah terucap, ia mempersiapkan diri untuk menjemput Fulanah suatu ketika nanti. Untuk mengejar apa-apa yang pernah diraih oleh Fulanah, si Fulan berusaha pula mendapatkannya. Mulai dari berorganisasi, yang kini ia lebih aktif. Nyantri sebagai santri kalong di salah satu pondok tahfidz di sekitar kampusnya demi menyamai hafalan yang dimiliki oleh Fulanah. Ia mau –dan mungkin mampu berbuat apapun untuk mensejajari langkah Fulanah.

Dua semester kuliah hampir terlewati dengan kondisi Fulan yang prima, merasa berada di puncak semangatnya, hingga kabar itu datang. Kabar yang disampaikan langsung oleh Fulanah ketika keduanya berkesempatan untuk bertemu. Ada seorang lelaki mapan datang melamarnya, memintanya untuk mendampinginya hingga akhir hayatnya. Dan besar kemungkinan Fulanah akan menerima lamaran tersebut. Maka, terhitung sejak hari itu hingga berhari-hari ke depannya, semangat si Fulan untuk mengaji Quran perlahan-lahan luntur. Organisasi pun satu per satu ia tinggalkan. Ia menghilang dari peredaran kampus. Warnet menjadi markas besarnya, satu-satunya tempat yang menurutnya mampu membantunya melupakan realita, bahwa orang yang dicintainya sebentar lagi akan menjadi istri orang.

Itu kisah seorang teman saya. Terkait kisah ini saya pernah bertanya pada seorang teman –yang lebih tua dan lebih dewasa daripada saya, waktu itu saya bertanya, ‘Dari cerita teman saya itu, Kak, sebenarnya siapa yang salah?’ Beliau terdiam sebentar, lalu menjawab, ‘Tidak ada yang salah. Tapi tidak ada yang benar juga. Ibaratnya begini, kalau ada orang yang menaruh gelas di meja, lalu ada yang menyenggol dan jatuh, siapa yang salah menurutmu?’ Kami terdiam, tidak ada yang menyahut hingga teman saya itu berkata lagi, ‘Tidak ada yang bisa disalahkan, karena yang menaruh gelas salah mengapa tidak ditaruh lebih ke tengah, yang menyenggol juga salah mengapa tidak berhati-hati. Sama dengan orang yang jatuh cinta. Maka, jatuh cinta itu sebaiknya jika sudah menikah saja, jadi usaha apapun yang kita lakukan untuk pasangan kita, memang itu yang diridhai oleh Allah’.

Kembali ke teman saya si Fulan tadi, kalau merujuk kata-kata mentor saya suatu ketika dalam halaqoh pekanan beliau berkata, ‘seharusnya jika semua sudah ditujukan pada Allah, tidak ada kata kecewa’. Dan begitu juga seharusnya si Fulan, juga kita, yang mungkin saja masih menujukan apa-apa yang kita lakukan bukan untuk-Nya, bukan untuk Sang Khaliq. Saya tidak dapat mengatakan Fulan salah karena ia berniat berubah untuk mensejajari Fulanah, karena isi hati orang siapa yang tau. Yang kami, teman-temannya sayangkan adalah mengapa ia berhenti dari berubah menjadi lebih baik saat tahu orang yang dicintainya tak mampu ia nikahi. Apakah itu berarti semua usahanya hanya untuk Fulanah saja?
Mungkin memang begitu adanya orang yang hatinya telah jatuh pada kecintaan duniawi, cinta pada wanita yang belum ada kehalalan baginya, mengusahakan apa-apa yang ditujukan pada wanita, tapi lupa bahwa adanya wanita tersebut adalah karena Allah menghendakinya, kesempurnaan wanita tersebut adalah karena kesempurnaan penciptanya.

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang lebih baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)
Mungkin memang begitu adanya, sebagaimana yang telah Allah firmankan, bahwa apa-apa yang diinginkan oleh anak Adam akan selalu terlihat indah di matanya. Ia jatuh bangun mengusahakan apa yang diinginkannya, memperjuangkannya, terkadang bahkan dengan menggunakan cara-cara yang tidak diridhai Allah, dan mungkin juga niat yang tak tertuju pada Allah. Padahal Allah lah yang menciptakan apa-apa yang diinginkan oleh anak Adam.
“…Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”

Mungkin memang begitu adanya, jika menukil sabda Rasulullah saw., yang mengatakan bahwa amalan itu sesuai dengan apa yang ia niatkan. Andaikata Fulan berhijrah –dari dirinya yang dulu menjadi dirinya yang lebih baik hari itu–ia tujukan segalanya untuk Sang Khaliq, Sang Maha Memiliki Cinta, maka mungkin, Allah akan mengganti apa yang ia cintai –namun tidak bisa ia dapatkan–dengan sesuatu yang menurut Allah lebih baik untuknya. Karena jika semua sudah ditujukan untuk Allah, seharusnya tidak ada kata kecewa, sekalipun yang sangat diinginkannya tidak mampu ia dapat.

Mungkin memang begitu adanya, bahwa anak Adam seringkali angkuh terhadap Tuhannya. Merasa dirinya mampu mendahului takdir-Nya, padahal takdir dan rencana Allah selalu indah, hingga ia lupa bahwa setiap apa yang ia lakukan ada campur tangan Sang Pembuat Takdir. Merasa dirinya mampu mencurangi takdir hingga membuat istilah yang diwajar-wajarkan padahal tak pernah Rasulullah mencontohkannya, menolak untuk membangun rumah tangga, menolak untuk menyempurnakan separuh diin-nya dan memilih untuk bermain-main dengan api, itu mungkin yang disebut dengan ‘pacaran’?
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat : 56)

Mungkin memang begitu adanya, bahwa kita seringkali lupa, hidup ini bukan untuk apa-apa selain untuk beribadah kepada-Nya. Sudah jelas ayatnya, sudah jelas dijabarkan alasannya Allah menciptakan insan yang tak memiliki ilmu–kecuali karena diberi pengetahuan oleh-Nya–ini. Kita lalai akan alasan penciptaan kita, dan justru mengejar apa-apa yang diciptakan, bukan Sang Pencipta. Mengejar makhluk, bukan Sang Khaliq. Padahal, jika Sang Khaliq mampu kita gapai, apalagi yang kita butuhkan selain Dia? Sementara jika makhluk kita gapai, apakah ia mampu menjamin kedekatan kita dengan Sang Khaliq?
Maka, berhijrahlah, berubahlah karena-Nya, bukan karenanya …




Rabu, 05 Agustus 2015

Berhijrah dengan Berhijab

Kali ini saya tertarik ikut menyuarakan pendapat mengenai hijab yang benar, telah banyak kalangan ulama sekelas Prof. Quraish shihab hingga masyarakat awam ikut mengemukakan komentar baik negatif atau positif mengenai hijabers yang saat ini sedang tren di masyarakat khususnya yang masih muda, bahkan banyak dari kalangan artis yang memutuskan berhijrah mengenakan hijab.

“…… dan hendaklah menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya ….” (QS. An-Nur:31)

Sahabat.. Tujuan Allah menyuruh seorang muslim berhijab ialah untuk kebaikan perempuan sendiri, pada hakikatnya yang bisa kita maknai dalam An-Nur:31 bahwa berhijab itu untuk menutup aurat bukan membungkus, ketahuilah hakikat menutup ialah membuat bentuk sesungguhnya tidak terlihat namun realita saat ini banyak kita temukan di masyarakat bahwa perempuan yang memakai jeans ketat dengan kaos ketat pula dan memakai jilbab yang digulung menjulang keatas, nah hal seperti ini bukan menutup aurat namun membungkus aurat sehingga bentuk –bentuk lekukan tubuh masih nampak, hal ini masih dianggap sebagai kewajaran saya kira jika tujuannya memakai seperti itu adalah awal ketika ia hijrah menuju yang lebih baik dan dilakukan bertahap sehingga tidak dicela oleh temannya, namun jika hal tersebut dijadikan fashion yang memang tujuanya mengikuti tren dan agar laki-laki tertarik padanya maka saya sangat tidak setuju perempuan berpakaian seperti itu.

Allah SWT menjelaskan bahwa dalam masyarakat ada laki-laki yang memang keimanannya lemah sehingga ketika melihat pemandangan yang menakjubkan, hasratnya akan muncul, apalagi jika pemandangannya adalah sesuatu yang tidak lazim dilihatnya, perpaduan busana yang seolah dilihatnya muslimah namun juga ia dapat menikmati keindahan tubuh perempuan tersebut.
Hal ini akan berbeda pula jika yang nampak di depannya adalah seorang perempuan dengan kerudung menjuntai serta yang menundukan pandangannya dan sopan, maka orang yang lemah imannya itu tidak akan berani memandangnya secara jelas atau bahkan melakukan sesuatu seperti mengajaknya berkenalan misalnya.

Dalam ayat ini Allah SWt berfirman kepada rasul-nya,
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrim, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian ini supaya mereka lebih mudah untuk dikenali karena itu mereka tidak diganggu…..” (QS Al-Ahzab: 59)

Imam Asy-Sya’rawi dalam bukunya “Suami Istri Berkarakter Surgawi” menjelaskan hendaknya seorang wanita itu mengetahui baik-baik bahwa sesungguhnya agama Islam dengan mensyariatkan hijab itu bertujuan untuk menjaganya dan memberikan jaminan keamanan pada masa tuanya ketika ia mulai diliputi rasa putus asa, karena perasaan shock yang pertama kali akan dialami perempuan ialah pada masa kecantikannya mulai sirna. Kecantikan seorang wanita akan sirna seiring bertambahnya usia, ketika perempuan itu tidak berhijab maka akan sangat terlihat ketika ia menua, dan tabiat laki-laki yang menikahi perempuan tidak berhijab saya yakin akan berpaling dan mencari wanita lagi yang masih enak ia pandang.

Dengan demikian, Allah SWt yang telah mewajibkan para pemudi untuk berhijab, sesungguhnya adalah untuk menjaga mereka ketika muda sebagaimana Dia bermaksud menjaga mereka sesuai dengan tingkat konsistensi mereka dalam berhijab pada saat lanjut usia. Wallahu a’lam.


Pentingnya Pembinaan & Kaderisasi

Berbicara tentang dakwah kampus adalah berbicara tentang kegiatan mulia berupa dakwah dalam lingkup kampus. Ada yang berpersepsi bahwa dakwah kampus merupakan kumpulan orang-orang atau mahasiswa bercelana cingkrang, berjenggot panjang, kucel dan lain sebagainya. Atau jika ia perempuan akan terpatri dalam persepsi seseorang, wanita berjilbab besar yang hampir menyentuh tanah, kalau jalan nunduk kayak orang nyari uang jatuh, dan tak mau bergaul dengan lawan jenis. Masih ada yang berpikir demikian? Semoga tidak kawan. Itulah persepsi lama, persepsi orang yang masih belum tahu menahu tentang dakwah kampus, kecuali sedikit saja. Mungkin kita perlu membenahi pola pikir kita, jika kita masih memiliki persepsi demikian.

Tak akan membahas lebih jauh tentang hal itu. Yang akan saya paparkan di sini adalah pentingnya pembinaan kader (baru) dalam suatu lembaga, khususnya lembaga dakwah kampus. Di mana orang-orang di dalamnya merupakan mereka yang berusaha menjadi baik dengan cara berkumpul dengan orang baik. Yang berusaha menjadi orang yang senantiasa terjaga dalam kebaikan, dengan berusaha mengikuti para pemimpinnya dalam berbuat kebaikan. Yang menginginkan pembelajaran organisasi, dengan melihat pemimpinnya berdiskusi dan beradu opini. Di antara mereka, ada yang masuk dengan latar belakang aktivis di sekolahnya, namun ada pula yang dari lingkungan pesantren, bahkan ada yang masuk hanya dengan alasan sertifikat penambah nilai. Beragam orang dengan beragam karakter dan latar belakang. Oleh karena itu, pembinaan dengan pemahaman karakter menjadi salah satu jalan menjaga mereka dengan lebih efektif.

Aktivis, yang saya pesepsikan sebagai mereka yang mewakafkan diri dalam jalan dakwah kampus. Merupakan orang-orang yang telah ikhlas tanpa bayaran, mau dengan sukarela menapaki jalan terjal nan berliku ini. Mereka dengan semangat menjalankan setiap aktivitas yang diembankan kepadanya. Namun kadang ada terlupakan oleh para pemimpin dalam lembaga ini. Adalah kondisi batin, ruhiyah para kader yang mulai terabaikan. Ekploitasi fisik dan fikir maksimal tanpa nutrisi ruhiyah yang optimal. Sungguh tak adil.
Perlu kita ingat, yang para aktivis (baru) inginkan dalam lembaga ini adalah pembelajaran keagamaan dan keorganisasian. Maka, ketika hanya sisi keorganisasian yang diasah, sementara sisi kerohanian dibiarkan, maka pembentukan kader EO (Event Organizer) itu telah berhasil. Namun, para pemimpin ini sebenarnya telah gagal, telah gagal membina jiwa kader yang jelas menjadi dasar kelemahan semangat, penyebab mudahnya para aktivis futur dalam masalah, ngilang di tengah jalan, atau yang lain. Mudah galau-galau-an, mudah menyebar isu negatif dan terpengaruh isu tersebut, dan kadang dengan mudahnya berdebat dengan sesama yang tak ada artinya. Itu yang lebih jauh.

Bagaimana mau menyampaikan dakwah ketika diri sendiri tak ada suplai ilmu tentang dakwah dan atau keagamaan itu sendiri. Bagaimana mau menyampaikan kalau tak ada bahan dalam pikiran. Bagaimana mau mengubah orang jika tak mau mengubah diri sendiri.

Perlu kesadaran kedua belah pihak, pemimpin maupun para kader baru yang sedang dipimpin. Kader harus berinisiatif mencari sedangkan pemimpin aktif dalam memberi. Namun sekali lagi, penekanan tetap kepada para qiyadah (ada yang menyebutnya demikian untuk para pemimpin). Mengapa? Karena pemimpinlah yang lebih tahu medan dakwah, mereka yang berpengalaman, dan mereka yang tahu mau dibawa kemana lembaga tersebut sehingga harus mengarahkan kader kemana. Sehingga pemimpin tahu, seharusnya ke manakah para kader itu diarahkan. Karena memang salah satu bukti pemimpin itu sejati adalah kemampuan melahirkan pemimpin setelahnya. Kaderisasi berjalan. Pembinaan adalah salah satu jalannya. Pembinaan adalah jalanmu membentuk duplikatmu, bahkan orang yang lebih baik darimu, wahai para pemimpin. Pembinaan adalah amal bagimu, menjadi pemberat timbangan baikmu, insya Allah. Kalau saja pemimpin terdahulu tak melakukan fungsi ini, mungkin kondisi kita berbeda. Jika Rasulullah tak membina para Sahabat, yakinkah kita Islam akan mendunia? Jika dulu H.O.S Tjokroaminoto tak membina Bung Karno, belum tentu Indonesia merdeka pada tahun 1945, meskipun itu tetap menjadi kehendak Allah Subhanah Wata’ala.

Dakwah tanpa pembinaan bagaikan keluarga bahagia tanpa anak. Tak ada yang meneruskan, tak ada yang mewarisi ideologi keluarga itu. Oleh karena itu, teruslah bergerak, teruslah menebarkan semangat kebaikan dan perbaikan. Selalu ingat bahwa “Barangsiapa yang menolong agama-Nya, maka Dia akan menolongmu dan mengukuhkan kedudukanmu” dan tetaplah dalam barisan teratur, yang senantiasa dicintai oleh Allah SWT. Serta jadikan pembinaan sebagai salah satu langkah membuat perubahan. Insya Allah


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/05/16/68639/pentingnya-pembinaan-kader/#ixzz3i0fF4t7p